Kamar kata dan tempat menyampah yang bukan sampah. Sebuah tulisan sederhana namun mencoba untuk tetap bermakna.

Jumat, 03 Mei 2013

Happy Ending Sebuah Lamaran yang Ditolak


Alkisah, ada dua anak Adam dan Hawa, seorang pria dan wanita, yang rupanya saling mencintai satu dengan yang lainnya, yang begitu berkomitmen dengan agamanya. Melalui ta'aruf yang singkat dan hikmat, mereka memutuskan untuk melanjutkannya menuju khitbah. Namun, tak semudah itu bagi sang pria. Dia harus maju menghadapi pria lain: ayah sang wanita. Dan ini, tantangan yang sesungguhnya. Ia telah melewati deru pertempuran semasa aktivitasnya di kampus, tetapi pertempuran yang sekarang amatlah berbeda. Sang wanita, tentu saja siap membantunya. Memuluskan langkah mereka menggenapkan agamanya. Maka, di suatu pagi, di sebuah rumah, di sebuah ruang tamu, seorang pria muda menghadapi seorang pria setengah baya, untuk 'merebut' sang wanita muda, dari sisinya.

"Oh, jadi engkau yang akan melamar itu?" tanya sang setengah baya dengan tatapan tajam.
"Iya, Pak," jawab sang muda tegas.
"Engkau telah mengenalnya dalam-dalam? " tanya sang setengah baya sambil menunjuk si wanita.
"Ya Pak, sangat mengenalnya," jawab sang muda, mencoba meyakinkan.
"Lamaranmu kutolak! Berarti engkau telah memacarinya sebelumnya? Tidak bisa. Aku tidak bisa mengijinkan pernikahan yang diawali dengan model seperti itu!" balas sang setengah baya.
Si pemuda tergagap, "Enggak kok pak, sebenarnya saya hanya kenal sekedarnya saja, ketemu saja baru sebulan lalu."
"Lamaranmu kutolak! Itu serasa membeli kucing dalam karung kan? Aku tak mau kau akan gampang menceraikannya karena kau tak mengenalnya. Jangan-jangan kau nggak tahu aku ini siapa?" balas sang setengah baya, keras.

Ini situasi yang sulit. Sang wanita muda mencoba membantu sang pria muda. 
Bisiknya, "Ayah, dia dulu aktivis lho."

"Kamu dulu aktivis ya?" tanya sang setengah baya.
"Ya Pak, saya dulu sering memimpin aksi demonstrasi anti Orba di Kampus," jawab sang muda, percaya diri.
"Lamaranmu kutolak! Nanti kalau kamu lagi kecewa dan marah sama istrimu, kamu bakal mengerahkan rombongan teman-temanmu untuk mendemo rumahku ini kan ?"
"Anu Pak, nggak kok. Wong dulu demonya juga cuma kecil-kecilan. Banyak yang nggak datang kalau saya suruh berangkat."
"Lamaranmu kutolak! Lha wong kamu ngatur temanmu saja nggak bisa, kok mau ngatur keluargamu?" 

Sang wanita membisik lagi, membantu, "Ayah, dia pinter lho."

"Kamu lulusan mana?"
"Saya lulusan Akuntansi UI Pak. UI itu salah satu kampus terbaik di Indonesia lho Pak."
"Lamaranmu kutolak! Kamu sedang menghina saya yang cuma lulusan STM ini tho? Menganggap saya bodoh kan?"
"Enggak kok Pak. Wong saya juga nggak pinter-pinter amat Pak. Lulusnya saja tujuh tahun, IP-nya juga cuma dua koma Pak."
"Lha lamaranmu ya kutolak! Kamu saja bego gitu gimana bisa mendidik anak-anakmu kelak?"

Bisikan itu datang lagi, "Ayah, dia sudah bekerja lho."

"Jadi kamu sudah bekerja?" 
"Iya Pak. Saya bekerja sebagai auditor. Keliling Jawa dan Sumatera mengaudit keuangan perusahaan-perusahaan besar Pak."
"Lamaranmu kutolak!" Kalau kamu keliling dan jalan-jalan begitu, kamu nggak bakal sempat memperhatikan keluargamu."
"Anu kok Pak. Kelilingnya jarang-jarang. Wong kerjanya saja kadang tidak menentu kok Pak."
"Lamaranmu tetap kutolak! Lha kamu mau kasih makan apa keluargamu, kalau kerja saja nggak becus begitu?"

Tenggorokan sang pria terasa tercekat. Bisikan kembali datang dari sang wanita kepada ayahnya, "Ayah, yang penting kan ia bisa membayar maharnya."

"Rencananya maharmu apa?"
"Seperangkat alat shalat Pak."
"Lamaranmu kutolak! Kami sudah punya banyak. Maaf."
"Tapi saya siapkan juga emas satu kilogram dan uang limapuluh juta Pak."
"Lamaranmu kutolak! Kau pikir aku itu matre, dan menukar anakku dengan uang dan emas begitu? Maaf anak muda, itu bukan caraku."

Pria itu makin tersudut. Sang wanita mencoba membantu lagi. Dia bisikan, "Dia jago IT lho, Yah.."

"Kamu bisa apa itu, internet?"
"Oh iya Pak. Saya rutin pakai internet, hampir setiap hari lho Pak saya nge-net."
"Lamaranmu kutolak! Nanti kamu cuma nge-net thok. Menghabiskan anggaran untuk internet dan nggak ngurus anak istrimu di dunia nyata."
"Tapi saya ngenet cuma ngecek email saja kok Pak."
"Lamaranmu kutolak! Jadi kamu nggak ngerti Facebook, Blog, Twitter, Youtube? Aku nggak mau punya mantu gaptek gitu."

Bisikan, "Tapi Ayah..."

"Kamu kesini tadi naik apa?"
"Mobil Pak."
"Lamaranmu kutolak! Kamu mau pamer tho kalau kamu kaya. Itu namanya Riya'. Nanti hidupmu juga bakal boros. Harga BBM kan makin naik."
"Anu saya cuma mbonceng mobilnya teman kok Pak. Saya nggak bisa nyetir"
"Lamaranmu kutolak! Lha nanti kamu minta diboncengin istrimu juga? Ini namanya payah. Memangnya anakku supir?"

Pria itu sudah mulai putus asa mendapatkan ridho dari pelindung wanita yang dicintainya tersebut. Kembali terdengar bisikan lirih dari wanita itu. "Ayahh.."

"Kamu merasa ganteng ya?"
"Nggak Pak. Biasa saja kok"
"Lamaranmu kutolak! Mbok kamu ngaca dulu sebelum melamar anakku yang cantik ini."
"Tapi pak, di kampung, sebenarnya banyak pula yang naksir kok Pak."
"Lamaranmu kutolak! Kamu berpotensi playboy. Nanti kamu bakal selingkuh!"

Sang wanita kini berkaca-kaca, "Ayah, tak bisakah engkau tanyakan soal agamanya, selain tentang harta dan fisiknya?"
Sang setengah baya menatap wajah sang anak, dan berganti menatap sang muda yang sudah menyerah pasrah.

"Nak, apa adakah yang engkau hapal dari Al Qur'an dan Hadits?"
Si pemuda telah putus asa, tak lagi merasa punya sesuatu yang berharga. Pun pada pokok soal ini ia menyerah, jawabnya: "Pak, dari tiga puluh juz saya cuma hapal juz ke tiga puluh, itupun yang pendek-pendek saja. Hadits-pun cuma dari Arba'in yang terpendek pula."
Sang setengah baya tersenyum, "Lamaranmu kuterima anak muda! Itu cukup. Kau lebih hebat dariku. Agar kau tahu saja, membacanya saja pun, aku masih tertatih."

Wanita itu pun menangis terharu. Mata sang muda juga ikut berkaca-kaca.

Ini harus happy ending, bukan? :)


Repackage dari note ini dari sumber ini. Dengan perubahan seperlunya.